Senin, 02 November 2020

Makalah Lipa' Sa'be (Sarung Sutra Mandar)

MAKALAH :

MAKNA SIMBOLIK DAN NILAI-NILAI FILOSOFI BUDAYA BENTUK RAGAM HIAS SARUNG SUTRA MANDAR

(LIPA’ SA’BE)


Oleh:

KELOMPOK IV

Hildawati (H0418321)

Lisna (H0418005)

Nurul  Izzah (H0418316)

Sadir (H0418304)

Sukma (H0418312)

Wahyuni (H0418320)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SULAWESI BARAT

2019



KATA PENGANTAR

Puji  syukur kita panjatkan kehadirat tuhan yang maha kuasa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah  ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Rasa terimakasih kami ucapkan kepada dosen pengampuh mata kuliah wawasan sosial Budaya Pak Dalif S.Pd. Serta rasa terimakasih kami ucapkan juga kepada teman teman yang telah berkontribusi dengan memberi ide idenya sehingga makalah ini dapat disusun dengan baik dan benar.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat menharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

     

Majene,, 22 April 2019

Penulis



DAFTAR ISI


Kata pengantar    i


Daftar isi    ii


BAB I PENDAHULUAN


Latar belakang     1


Rumusan Masalah    2


Tujuan penulisan    2


Manfaat penulisan    2


BAB II PEMBAHASAN


Pengertian Lipa’ sa’be    3


Asal mula Lipa’ sa’be    3-5


Corak / sure’ lipa Sa’be    5-10


Nilai yang  terkandung dalam Lipa’ Sa’be    10-15


Nilai-nilai Filosofi  Budaya yang Terkandung dalam Lipa’ Sa’be…16-20


BAB III PENUTUP


Kesimpulan    21-22


Saran    22


DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...23



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

         Museum mandar didirikan berdasarkan salah satu keputusan seminar kebudayaan mandar di Majene pada 2 Agustus 1984. Usul pendirian museum mandar di sambut baik oleh Pemda tingkat II kabupaten Majene dengan menunjuk bekas rumah kediaman bupati kepala daerah tingkat II kabupaten Majene yang sementara di tempati oleh pembantu gubernur  wilayah  I  Mandar. Di dirikan juga yayasan mueum Mandar oleh beberapa tokoh masyarakat dengan tujuan meningkatkan pembangunan dalam bidang kelestarian benda benda budaya. Pada tahun 1989 status hukum museum mandar Majenedi alihkan dari status swasta (yayasan) menjadi museum daerah. Di putuskan pula pemindahan lokasi museum dari lokasi lama ke seluruh bangunan bekas rumah sakit umum Majene sampai sekarang atau biasa di sebut dengan “ Boyang Tomonge”.

    Pada makalah ini membahas tentang objek Lipa Sa’be dimana Lipa Sa’be merupakan sarung khas mandar. Lipa Sa’be yang artinya sarung sutra orang mandar yang di produksi sendiri oelh orang mandar, di pakai oleh orang mandar lalu kemudian di pakai oleh hampir semua orang di belahan terutama dalam acara tatanan adat yang sangat sakral, Lipa Sa’be Mandar yang memiliki ciri khusus yang dari segi corak atau motif yang dalam bahasa Mandar Sure’ dan juga tentang cara pembuatannya. Corak sarung Mandar secara sepintas terlihat memiliki persamaan dengan corak corak terdapat di daerah lain, hanya saja corak sarung mandar memiliki khas posisi tersendiri. Lipa Sa’be mandar juga dapat di bawa kemana mana yang disimpan dalam saku celana atau pada tas kecil.

    Museum Mandar terletak di Jl. Raden Suradi atau bekas gedung rumah sakit lama Majene, kelurahan pangali ali, kecamatan Banggae, kabupaten majene, provinsi Sulawesi Barat.


B. Rumusan Masalah

    1. Apa yang di maksud Lipa Sa’be ?

    2. Bagaimana Asal mula Lipa Sa’be ?

    3. Corak / sure’ apa saja yang ada pada lipa Sa’be ?

    4. Makna yang  terkandung dalam Lipa’ Sa’be ? 

    5. Nilai yang terkandung dalam Lipa’ Sa’be ?


C. Tujuan Penulisan

    1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Lipa Sa’be

    2. Untuk mengetahui Asal mula Lipa Sa’be

    3. Untuk mengetahui corak/ sure’ Lipa Sa’be

    4. Untuk mengetahui Makna yang  terkandung dalam Lipa’ Sa’be ?

    5.  Untuk mengetahui Nilai yang terkandung dalam Lipa’ Sa’be ?


D. Manfaat Penulisan

    1. Mengetahui apa yang dimaksud Lipa Sa’be

    2. Memberikan informasi tentang asal mula Lipa Sa’be 

    3. Memperlihatkan corak/ sure’ Lipa Sa’be

    4. Mengetahui makna yang terkandung dalam lipa’ sa’be

    5. Mengetahui Nilai yang  terkandung dalam Lipa’ Sa’be 



BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Lipa Sa’be

         Lipa’ Sa’be (bahasa daerah Mandar) artinya sarung sutera. Lipa’ Sa’be Mandar telah lama dikenal karena memiliki ciri khusus yakni dari segi corak (sure’) dan cara pembuatannya. Corak sarumg Mandar sepintas memiliki persamaan dengan corak-corak yang terdapat di daerah lain. Hanya saja corak mandar memiliki khas, posisi tersendiri baik untuk kalangan masyarakatnya sendiri atau untuk masyarakat luar. Dengan demikian penciptaan corak punya peruntukan masing-masing berdasarkan standar ekonomi, social budaya, agama, dan strata social seseorang. 

       Komposisi garis-garis yang simetris, berupa garis-garis lungsi dan pakan yang saling menyilang sehingga membentuk pola kotak-kotak papan catur. Corak seperti inilah yang membedakan sarung Mandar dengan sarung lain. Meski ada kesamaan-kesamaan tertentu yang dapat ditemukan pada corak sarung lain. Artinya, kesamaan-kesamaan itu lahir karena keterbatasan manusia, tapi yang tampak tidak ada upaya masyarakat Mandar meniru keterampilan masyarakat lain untuk menciptakan corak (sure’), karena ketika pertama kali penciptaan corak (sure’) ini, masyarakat Mandar justru berguru pada pendahulunya yang amat gemar menganyam, seperti menganyam daun untuk tikar, menganyam rotan untuk tikar, menganyam bamboo untuk dinding, dll


B. Asal mula Lipa’ Sa’be

      Para ahli dan peneliti memperkirakan bahwa kebudayaan menenun oleh manusia telah ada sejak 500 tahun yang silam sebelum masehi di Negara Mesopotamia dan Mesir, kebudayaan ini kemudian berkembang dan menyebar ke benua Eropa dan benua Asia hingga akhirnya masuk ke Indonesia dan Malaysia setelah melalui India, China kemudian masuk di kawasan Asia Tenggara. 

         Kapan masuknya kebudayaan Manette’ (menenun) ke Indonesia ini tidak ada satupun sumber yang dapat memastikannya secara pasti, akan tetapi berdasarkan hasil penemuan tentang aneka ragam alat-alat tenun yang ada dan masih dipergunakan oleh berbagai suku di Indonesia hingga saat ini, dapat diketahui bahwa kebudayaan dalam hal menenun timbul bersamaan dengan adanya peradaban manusia, pada awalnya sebelum adanya hasil tenunan yang di produksi secara tradisional maka kulit kayu dan daun kayu serta kulit binatang yang semula di pergunakan sebagai pakaian penutup badan manusia terutama dengan menutupi bagian vital, lalu kemudian sesuai dengan kemajuan peradaban, akhirnya diganti dengan pakaian yang didapatkan lewat kepandaian dengan cara menenun (manette’) yang awalnya dimulai lewat keterampilan dengan cara menganyam yang dalam bahasa Mandar Mambittang mappasitambeng. 

        Perkembangan selanjutnya, terlihat bahwa kepandaian menenun tidak saja diperuntukkan untuk sekedar menghasilkan kain sebagai penutup tubuh, akan tetapi lebih dari itu, kain hasil tenunan tersebut merupakan sebuah karya seni yang muncul sesuai dengan alur kehidupan masyarakat setempat. 

        Sehelai kain tekain tenunan yang indah, tidak saja berfungsi hanya sebagai busana penutup tubuh, namun lebih dari itu, ia bahkan dapat menunjukkan derajat dan martabat pada pemakainya. Hasil tenunan tersebut dapat menunjukkan pesan dan kesan khusus yang terselip di balik motif dan warna-warninya sehingga bentuk dari tenunan itu belumlah cukup jika tidak disertai dengan maka dari lambing yang tersembunyi di balik motif dan ragam corak yang menyertai tenunan tersebut. 

       Pengetahuan dalam hal menenun bagi setiap orang Mandar dengan bahan yang digunakan yaitu: sa’be (bening sutra) sebagai salah satu komoditi utama di Mandar yang dikenal dengan nama lipa’ Sa’be Mandar (sarung sutra dari Mandar), dimana bahan utamnya adalah benang sutra yang diperoleh dari daratan china yang dibawa pulang oleh orang Mandar sebagai saudagar setelah beralabuh didaratan China dengan menukar barang-barang dagangan yang terdiri dari rempah-rempah dan ikan asing yang di bawa dari Mandar.


C. Corak / Sure’ Lipa’ Sa’be Mandar

       Tenunan orang Mandar yang disebut Lipa’ Sa’be mempunyai sekian banyak corak yang dalam bahasa Mandar disebut Sure’. Yang menurut penuturan dari Ibu Agung H.A. Depu Arayang Balanipa ke 52 semasa hidupnya kepada penulis, bahwa Lipa’ Sa’be Mandar yang dikenal sejak dahulu hingga sekarang sebagai corak tradisonal (Sure’ Simemangang) yang hanya terdiri dari 12 jenis sure’ (corak) bersama dan fungsi pemakaiannya dari masing-masing corak yang diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Sure’ Pangulu (corak penghulu)


Corak ini warna dasarnya ungu bercampur merah hati dan hitam dengan kotak-kotak kecil yang dalam perkembangannya terdapat yang disebut Sure’ Pangulu Padang (corak penghulu dari Padang). 

Adapun jenis corak ini digunakan atau dipakai oleh para Mara’dia dan anggota adat serta lembaga Hadat dalam melakukan pelantikan dan juga dikenakan pada saat melakukan acara yang sacral seperti penjemputan tamu kerajaan, melakukan acara Pelattigiang (pemberian restu) dan sebagainya.

2. Sure’ Mara’dia (corak raja)


         Corak ini warna dasarnya adalah coklat bercampur ungu dan hitam dengan kotak-kotak agak besar dan corak ini pada zaman dahulu hanya dapat dikenakan oleh para bangsawan tinggi atau yang punya kedudukan/jabatan dalam kerajaan.

3. Sure’ Puang Limboro (corak puang Limboro)


       Corak ini warna dasarnya adalah ungu yang dipadu dengan warna coklat dan hitam dengan kotak-kotak yang agak kecil, dan corak ini dapat dikenakan oleh semua golongan yang bermakna selaku penghargaan kepada Puang Limboro selaku lembaga Hadat pertama di kerajaan Balanipa untuk selanjutnya dapat pula dikenakan dalam pelantikan oleh pewaris yang akan menduduki jabatan selaku Pepuangan Limboro. 

4. Sure’ Puang Lembang (corak Puang Lembang)

       Corak ini warna dasarnya terdiri dari perpaduan coklat, merah, ungu dan hitam dengan kotak-kotak lebih besar sedikit dari Sure’ Puang Limboro dan corak ini dapat dikenakan oleh semua golongan yang bermakna selaku penghargaan kepada Pepuangan Biring Lembang selaku lembaga Hadat kedua di Kerajaan Balanipa, untuk selanjutnya dapat pula dikenakan dalam pelantikan oleh pewaris yang akan menduduki jabatan selaku Pepuangan Biring Lembang.

5. Sure’ Batu Dadzima (corak batu delima)

       Corak ini warna dasarnya coklat bercampur ungu dan hitam dengan sedikit lebih besar dari Sure’ Pangulu dan corak ini dapat dikenakan oleh semua tingkatan atau golongan dan juga dikenakan oleh para pattu’du’ towaine (penari wanita) dari semua jenis pattu’du’ yang ada di Mandar.

6. Sure’ Padzadza (corak kebanggan)

       Corak ini warna dasarnya adalah merah hati dengan kotak-kotak yang lebih besar sedikit dari Sure’ Pangulu yang dalam perkembangan selanjutnya terdapat Sure’ yang disebut:

a. Padzadza Tanditole, dengan warna dasarnya adalah merah muda yang akan dipakai oleh para penari wanita (pattu’du’ towaine) dari golongan anak pattola payung (keturuanan pewaris tahta kerajaan)

b. Padzadza Magawu, dengan warna dasarnya adalah biru yang akan dipakai oleh para penari wanita (pattu’du’ towaine) dari golongan anak bangsawan yang tidak menduduki tahta kerajaan.

c. Padzadza Mamea, dengan warna dasarnya adalah merah tua yang akan dipakai oleh para penari wanita (pattu’du’ towaine) dari golongan anak pattola hadat dan adat (keturunan pewaris lembaga hadat dan adat yang sedang menduduki jabatan).

d. Padzadza Malotong, dengan warna dasarnya adalah hitam yang akan dipakai oleh para penari wanita (pattu’du’ towaine) dari golongan anak taupia-pia (keturunan dari golongan bangsawan hadat dan adat yang tidak menduduki jabatan).

e. Padzadza Bunga, dengan warna dasarnya adalah merah muda dan merah tua dan variasi sedikit kembang yang akan di pakai oleh para penari (pattu’du’ towaine) dari golongan anak taupia na’e (keturunan dari percampuran bangsawan raja dan bangsawan taupia hadat dan adat.

      Sure’ atau corak ini kemudian dikhususkan dikenakan oleh para wanita remaja untuk Pessawe baik yang Disaweang (digandeng) maupun yang Mesaweang (penggandeng) dalam acara saeyyang Pattu’du (mengendarai kuda penari), setelah mayoritas penduduk di Mandar memeluk Islam. 

7. Sure’ Salaka (corak perak)

       Corak ini warna dasarnya hitam dengan kotak-kotak strep putih kemudian disebut Salaka Tanditole yang dalam perkembangan selanjutnya terdapat corak, yaitu:

a. Salaka ditole, dengan warna dasarnya adalah hitam dengan kotak-kotaknya terdapat dua garis putih.

b. Salaka Bunga Saripah, dengan warna dasarnya sama dengan sure’ Salaka Tanditole  hanya saja didalamnya terdapat variasi kembangdengan warna merah muda dan biru, sure’ atau corak tersebut diatas dingunakan oleh semua golongan namun juga dikenakan khus dalam acara Malluang Bayu, mattuttu’ ringe, Maindai lita’ dan setelah mayoritas penduduk di Mandar memeluk Islam maka dikenakan dalam acara khitanan/sunatan (pengislaman)

8. Sure’ Bandera (corak bendera)

        Corak imi juga biasa disebut Sure’ Lowong yang warnanya yang warnanya bermacam-macam motif yang mirip dengan warna pelangi atau sama dengan bendera Kerajaan Balanipa yaitu isorai dan corak ini diharuskan dipakai oleh para Pattu’du Tommuane (penari pria) dari semua tingkatan dan golongan serta dikenakan oleh para pemain pencak silat yang disebut Pakkottau

9. Sure’ Peja-peja (corak ikan seribu)

       Corak ini warna dasarnya adalah hitam dipadu dengan warna putih yang diselingi dengan warma ungu dengan kotak-kotak kecil dan corak ini kebanyakan di kenakan oleh para nelayan, dan juga dapat dikenakan dalam semua acara. 

10. Sure’ gattung Layar/Tunggeng Layar (corak gantung layar)


      Corak ini warna dasarnya adalah hitam bercampur ungu dengan kotak-kotak sedikit lebih kecil dari Sure’ Bandera. Corak ini dapat dikenakan oleh semua tinkatan atau golongan dan juga dikenakan pada umumnya oleh para nelayan.

11. Sure’ Jangan-jangan (corak burung merpati)


      Corak ini warna dasarnya adalah coklat bercampur hitam dengan kotak-kotak sedikit lebih besar dari Sure’ Peja-peja dan corak ini dapat dikenakan oleh semua tingkatan atau golongan.

12. Sure’ Beru’-beru’ (corak kembang melati)

       Corak ini warna dasarnya adalah putih yang di padu dengan warna putih dan diselinngi dengan warna kebiru-biruan dengan kotak-kotak yang agak kecil, dan jenis corak ini dipakai oleh masyarakat umum dan juga dapat dikenakan dalam semua acara.


D. Makna Simbolik yang Terkandung pada Bentuk Ragam Hias Sarung Tenun Sutera Mandar atau Lipa’ sa’be

1. Makna Simbolik Unsur Ragam Hias Pola Dasar Segi Empat

       Bentuk ragam hias pola dasar segi empat pada sarung tenun sutera Mandar mempunyai penafsiran makna. Shaifuddin Bahrun berpendapat pemaknaan bentuk segi empat pada ragam hias sarung tenun sutera Mandar yang bercorak kotak-kotak dibangun atas garis-garis lurus vertikal dan melintang secara horizontal dan saling berpotongan antara satu dengan yang lainnya. Garis tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk kuat dan tegasnya aturan dalam masyarakat Mandar yang mengatur secara vertikal antara rakyat dan pemimpinnya, di antara sesama pemimpin dan sesama rakyat secara horizontal dengan memperhatikan strata-strata sosial dalam masyarakat. Selain itu, ditemukan hubungan yang senantiasa dipelihara oleh masyarakat Mandar dengan hubungan religus. Masyarakat Mandar menyebutkan garis garis yang saling berpotongan itu sebagai pagar sesuai dengan fungsinya maka pagar adalah sebuah benda yang ditemukan dalam kehidupan yang berfungsi untuk  menjaga dan melindungi rumah atau sesuatu dari ancaman atau gangguan dari luar dirinya, pagar juga berfungsi untuk menjadi pemisah antara hak dan yang bukan, pemisah bagian bagian dari suatu keutuhan. Sarung tenun sutera Mandar yang berbentuk pagar itu dapat dijadikan penjaga dan pelindung kehormatan bagi pemakainya. Selain itu, dengan melihat orang memakai sarung tenun sutera Mandar  akan diketahui Kehidupan sosial seseorang.  Pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa makna dari bentuk segi empat itu adalah  keterkaitan hubungan yang baik antara manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan Tuhannya. Hal ini sebagai wujud keberadaan manusia sebagai makluk sosial,  makhluk religus dalam masyarakat untuk menjaga tatanan keharmonisan, dan harga dirinya sekaligus sebagai makhluk berbudaya.

       Ida Yoesoef Madjid mengungkapkan pemaknaan lain  bentuk segi empat ini  sebagai berikut :

a. Bentuk kesederhanaan ragam hias pada sarung tenun sutera Mandar yang terbangun antara garis lurus vertikal dan horizontal yang saling bertemu membentuk sebuah kotak kecil dan besar. Demikian pula warnanya yang tidak meriah tapi cukup tegas dan keras. Hal ini melambangkan jiwa orang Mandar yang selalu menjalani kehidupan yang lurus melalui upaya yang halal sesuai dengan agama yang dianutnya. 

b. Pendirian yang teguh dan keras, tidak banyak variasi hidup serta tidak senang pada hal yang sifatnya muluk-muluk. 

c. Mereka senantiasa berusaha untuk memperoleh suatu kenyataan. 

         Dalam  nilai filosofi orang Mandar dalam ungkapan disebutkan, lopai buku dai nene tuali, artinya lebih baik hancur dari pada kembali, atau dikenal dalam semboyang yang mengatakan sekali layar berkembang pantang biduk surut ke pantai. Hal ini menekankan tentang sifat konsisten orang Mandar dalam arti memiliki keteguhan pendirian  terhadap apa yang dikerjakan. Darmawan Mas΄ud, memperkuat pendapat tersebut yang mengatakan, bentuk ragam hias segi empat (geometris) kotak-kotak awalnya berasal pada masa kebudayaan Neolitikum Palaometalik (metalit) dari budaya Kalumpang yang datang ke Mamuju. Bentuk ragam hias ini awalnya dikenal dengan hiasan jala memiliki  makna secara filosofi kesederhanaan. Bentuk ragam hias tersebut masuk ke dalam motif tenun di Sulawesi Selatan dan Barat yang dikenal dengan nama segi empat (sulapaq appeq). Segi empat ini memiliki makna secara esensi pada budaya mendasar keempat etnis yang ada di Sulawesi Selatan dan Barat yaitu budaya siri’ dan lokko (budaya malu/perasaan malu yang mendalam pada diri seseorang). Budaya malu tersebut terbingkai di dalam kotak segi empat secara abstrak yang dikelilingi ada empat hal sifat yang mendasar harus dimiliki pada diri manusia di antaranya: 

a. Mereka malu kalau tidak bersikap adil, (adele)

b. Konsisten (getteng)

c. Jujur (lempuh) 

d. Berkata benar (tongen) 

Pemaknaan unsur segi empat tersebut digambarkan sebagai berikut.

     Pendapat tersebut lebih menekankan kepada nilai moral  manusia sebagai mahluk berbudaya yang memiliki rasa malu melakukan kesalahan atau melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini orientasinya tak lain adalah kembali kepada fitrah manusia sebagai mahluk berbudaya yang memiliki budaya siri’. Hal ini mengisyaratkan bahwa sifat dari budaya adat istiadat tentang etika moral siri’ orientasinya kepada sifat kejujuran, konsisten, kebenaran, dan keadilan yang tergambarkan pada bentuk unsur ragam hias  pola segi empat tersebut.                Pemaknaan lain tentang simbol dari bentuk ragam hias segi empat dinyatakan Faisal  sebagai berikut. 

     Ragam hias sulapaq appaq mempunyai banyak makna dalam kehidupan orang Mandar, baik yang berkaitan dengan alam sekitar maupun yang berkaitan dengan diri manusia itu sendiri. Sulapaq appeq ini merupakan dasar pandangan kosmologis dalam memandang alam raya ini.  Sarwa  alam ini suatu kesatuan yang dinyatakan dalam simbol bunyi E huruf “sa”(   ) dalam lontaraq Mandar. Berdasarkan sulapaq appeq orang Mandar meyakini bahwa manusia berasal dari empat unsur, yaitu tanah, api, air, dan udara. Keempat unsur tersebut biasanya juga disimbolkan dalam warna yaitu tanah melambangkan unsur hitam, api melambangkan unsur merah, air melambangkan unsur putih, dan udara melambangkan unsur kuning. Pendapat tersebut sejalan pula yang dikemukakan oleh Anwar Sewang yang menyatakan bahwa  bentuk segi empat ini dikaitkan pula dengan pemahaman tentang anasir tubuh dan bumi. Anasir tubuh di antaranya tana (tanah), uwai (air), anging (angin), dan afi (api). Tanah yang berarti macca (cerdas), air yang berarti melempu (jujur), anging yang berarti maggetteng (konsisten/teguh pendirian, dan api yang berarti warani (berani). Keempat nilai yang disebutkan di atas sekaligus menjadi prinsip yang harus dipegang teguh oleh seorang pemimpin pada masa lampau. Hal ini dapat memberikan gambaran tentang keterkaitan makna segi empat dalam masyarakat Mandar dengan konsep sebagai bentuk pengendalian diri terhadap nafsu  dimiliki oleh manusia  yang harus dipegang teguh bagi pemimpin.

         Penerapan makna bentuk segi empat ini, dalam perkembangannya pada masyarakat Sulawesi Selatan dan Barat khususnya di Mandar, tidak saja terbatas pada sarung tenun sutera Mandar. Bentuk ragam hias segi empat ini dikenal dengan istilah walasuji. Pengaplikasiannya dijumpai pada tempat sesajen pada acara ritual dan hiasan pesta pernikahan, gapura, logo  kabupaten, dan logo pada kegiatan pekan olah  raga daerah Provinsi Sulawesi Barat (Porda). Pengaplikasian ini sebagai suatu bentuk pencitraan dan identitas masyarakat Mandar umumnya serta Polewali Mandar khususnya. 

2. Makna Simbolik Unsur Ragam Hias Garis Lurus Vertikal dan Horisontal

         Garis lurus vertikal  dan horisontal dimaknai sebagai simbol ketegasan dan kejujuran. Selain pemaknaan simbol tersebut berbagai pendapat hasil wawancara  mengemukakan sebagai berikut: 

Arifuddin Toppo, berpendapat pemaknaan unsur garis lurus vertikal dan horisontal mengandung suatu nilai ajaran agama yang dapat disimbolkan bahwa garis lurus vertikal sebagai hablomminonllah dan garis lurus horisontal orentasinya hablomminannas. Hal yang sama menurut pendapat Muhlis Hannan bahwa makna yang terkandung pada unsur ragam hias sarung tenun sutera Mandar dilihat dari  garis horisontal dan vertikal berkaitan dengan falsafah hidup orang Mandar. Garis vertikal dan horisontal mengacu bagaimana keutuhan suatu hubungan hamba dengan Sang Pencipta dan hubungan manusia dengan sesamanya. Garis horisontal orientasinya keseteraan hubungan antara suami dan isteri dalam konsep siwaliparri (kerjasama dalam pemenuhan kebutuhan hidup). Aplikasi konsep siwaliparri lebih lanjut dijelaskan Darmawan Mas’ud bahwa masyarakat Mandar di Polewali Mandar berpegang teguh pada prinsip tasi bagianna to mane’ puttanan bagianna to bene’’artinya di laut bagiannya laki-laki atau suami mencari rezki dan di darat bagiannya perempuan atau isteri mencari rezki.

3. Makna Simbolik Unsur Warna Pada Ragam Hias Sarung Tenun Sutera Mandar

              Pewarnaan sarung tenun sutera Mandar yang sure’ tradisi lebih mengutamakan penggunaan warna gelap misalnya hitam, coklat kehitam-hitaman, dan merah kecoklatcoklatan. Warna hitam dapat dimaknai sebagai falsafah kejujuran atau kesungguhan. Selain makna tersebut, penggunaan warna gelap sebagai wujud perilaku yang sederhana dan pendirian yang teguh. 

          Pemaknaan warna dalam ragam hias sarung tenun sutera Mandar memiliki symbol yang berkaitan dengan perilaku dan karakter masyarakatnya di antaranya: warna coklat dapat dimaknai dengan sifat kesopanan, kebijaksanaan, dan kehormatan. Warna merah dimaknai sebagai, pemberani, dan kuat, sedangkan warna hitam dimaknai sebagai ketegasan. Selain  pemaknaan simbol perilaku, makna warna dalam ragam hias sarung tenun sutera Mandar juga berkaitan dengan simbol warna alam di antaranya: merah berasosiasi pada api, hitam dan coklat  diasosiasikan sebagai warna tanah. 

          Memasuki era modern dan kontemporer, warna sebagai  unsur ragam hias telah mengalami perkembangan. Dalam pewarnaan ragam hias sekarang terkesan lebih mengutamakan nilai estetis namun tetap memiliki makna simbolik misalnya warna kuning emas dapat dimaknai sebagai simbol kemulian dan keagungan. Warna putih silver pada sure’ salaka dimaknai sebagai kejujuran dan kesucian. Pemaknaan warna tersebut sebagai perwujudan sifat dan karakter serta mencerminkan nilai-nilai filosofi budaya dalam masyarakat Mandar.


E. Nilai-nilai Filosofi  Budaya yang Terkandung dalam Bentuk Ragam Hias Sarung Tenun Sutera Mandar 

       Bentuk ragam hias pada sarung tenun sutera Mandar mengaplikasikan jenis ragam hias geometris yang bentuknya sederhana  terdiri dari unsur garis horizontal dan vertikal. Bentuk pola segi empat ini sebagai ciri khas, bahkan akhirnya dijadikan semacam panduan spirit masyarakatnya dalam menjalin rajutan bersama. Eksistensi bentuk  ragam hias tersebut memiliki makna, dan nilai secara fundamental pada masyarakat pendukungnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Michael Landmann dalam tulisan Budiono Herusatoto yang menyatakan bahwa setiap karya dari manusia dilaksanakan dari suatu tujuan, yaitu  setiap benda alam di sekitarnya disentuh dan dikerjakan manusia mengandung dalam dirinya suatu nilai. Nilai yang ada misalnya, ekonomi, sosial, religus, fungsi, dan sebagainya, dengan demikian berkarya berarti menciptakan sebuah nilai. Setiap karya tercipta suatu ide dari manusia, sehingga setiap benda budaya menandakan nilai tertentu. Meskipun bentuk ragam hias pada sarung tenun sutera Mandar bentuknya sederhana, tetapi merupakan suatu hasil budaya yang memiliki suatu arti dan nilai. 

       Faisal, menguraikan kata nilai digunakan untuk menunjukkan kualitas simbolis yang ditentukan menurut sistem budaya tertentu. Kualitas simbol tersebut menjadi sumber penentu nilai bagi perilaku yang dikaitkan dengan aspek budaya yang bersifat normatif. Dengan demikian nilai merupakan gagasan yang ditentukan manusia untuk menggariskan perilaku yang tepat dan dapat diterima bersama. Sehubungan dengan hal ini, “nilai budaya dipahami sebagai konsepsi konsepsi yang hidup dalam alam pikiran dari sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup. 

        Dalam menentukan nilai-nilai budaya pada bentuk ragam hias sarung tenun sutera Mandar ada tiga konsep yang digunakan antara lain: Siri’ (manusia sebagai mahluk budaya), sulapaq appaq unsur pengendalian diri, dan konsep siwaliparri (bersatunya suatu perbedaan). Ketiga konsep tersebut sejalan dengan hasil  wawancara dari beberapa nara sumber sebagai berikut.  

       Suaib Hannan memaparkan nilai yang terkandung pada bentuk ragam hias segi empat sarung tenun sutera  Mandar yang terbangun antara garis mendatar dan horisontal  memiliki suatu nilai ajaran moral dan agama. Hal ini mencerminkan bahwa orang Mandar mencintai kejujuran, ketegasan, dan kelurusan hati sehingga tercipta dan teraplikasi pada sure’ sarung tenun sutera Mandar yang khas tradisi. Pendapat ini sejalan yang dikemukakan oleh Idham yang mengatakan makna simbol itu ada kaitannya dengan perilaku orang Mandar yang lurus dan jujur dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua pendapat tersebut dapat memberikan suatu pemahaman bahwa nilai yang terkandung pada bentuk ragam hias itu mangandung nilai moralitas. 

       H. Abdul Fatir berpendapat bentuk ragam hias kotak pada sarung tenun sutera Mandar memiliki suatu nilai yang orientasinya, sebagai wujud kebersamaan dalam mewujudkan suatu kesatuan. Pendapat ini diperkuat oleh H. Ahmad Asdy bahwa nilai yang terbentuk pada ragam hias segi empat tersebut menggambarkan kebersamaan dalam konsep siwaliparri atau bentuk kegotong royongan. Aplikasinya dalam beraktivitas menenun dilakukan  kerjasama antara suami dan isteri, hal ini tampak pada pengadaan alat dan bahan yang dipersiapkan oleh suami. Kerjasama tersebut terbingkai dalam suatu ikatan kotak segi empat yang artinya sagala persoalan yang dicapai harus ada kebersamaan. Terjadi suatu prinsip bersama dalam hal suka dan duka. Selain itu bentuk kerjasama ini diwujudkan pula seorang isteri dengan sabar dan setia menenun untuk menunggu suami pulang dikala mencari nafkah di laut. Pendapat ini memberikan suatu gambaran tentang adanya suatu nilai kerjasama, sebagai wujud kegotong royongan untuk  meringankan  beban pekerjaan dalam kehidupan masyarakat Mandar di Polewali Mandar. Beberapa tanggapan yang dikemukakan dari hasil wawancara tersebut  maka dapat disimpulkan dalam  bentuk interaksi analis yang dapat memberikan suatu kesimpulan terhadap nilai-nilai yang terdapat pada bentuk ragam hias sarung tenun sutera Mandar antara lain:

1. Nilai Moralitas 

           Nilai-nilai  moralitas  pada bentuk garis yang lurus dan pewarnaan yang tidak menjolok mengandung arti kesederhanaan, kesungguhan, dan kejujuran. Pada saat proses pembuatan tenunan seorang penenun dalam menyelesaikan tenunannya memerlukan sifat dan sikap ketabahan,  kesabaran, keuletan, keiklasan, dan kejujuran. Hal ini merupakan modal utama yang harus dimiliki oleh penenun dalam menyelesaikan pekerjaannya agar dapat menghasilkan suatu karya yang memuaskan. Selain itu ketabahan dan kesabaran yang dimiliki penenun  teraplikasi disaat setia dan sabar menunggu kedatangan suami pulang mencari ikan di laut. Garis  lurus dimaknai sesuatu yang tegas, yang orientasinya sebagai perilaku jujur, konsisten, dan bersikap adil. 

2. Nilai Religius/Agama 

          Garis lurus vertikal dapat dimaknai sebagai orentasi keterkaitan antara hubungan manusia dengan Tuhannya dalam Al-Quran disebut sebagai (hablomminonllah). Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, orang Mandar menyadari hakekat keberadaannya di dunia. Masyarakat Mandar senantiasa mendekatkan diri pada penciptanya, menyembah dan memohon perlindungan, keselamatan, dan meminta rezki.  Sikap dan perbuatan manusia tidak hanya diwujudkan dalam bentuk doa, tetapi juga dalam bentuk hasil karya yang bernilai religus. Hasil karya tersebut orientasinya sebagai bentuk nilai-nilai untuk kemaslahatan ummat manusia pada umumnya dan masyarakat Polewali Mandar khususnya. Ragam hias pada sarung tenun sutera Mandar dengan bentuk garis lurus vertikal yang mengandung nilai religus  sebagai jalinan hubungan yang baik kepada sang Pencipta.  Masyarakat di Polewali Mandar umumnya penganut kuat terhadap nilai-nilai religius agama Islam. Agama yang dianut sebagian besar masyarakat Mandar menjadi pedoman hidupnya. Nilai-nilai ajaran ini teraplikasi dalam wujud budaya Mandar. Sampai sekarang tatanan kehidupan beragama tetap berlangsung dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa berbakti dan menyembah kepada Allah SWT yang telah diamanatkan di dalam Al-Qur,an pada surat Al–Baqaroh yang artinya “Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahku”. Masyarakat Polewali Mandar dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia tidak hanya mengejar kebutuhan lahiriah (duniawi) semata tetapi ada keseimbangan antara  kebutuhan akhirat. Seperti dalam nasihat orang tua disebutkan: tinroi linomu tinrotoi aheraqmu (kejarlah kehidupan duniamu dan kejar pula kehidupan akhiratmu).

3. Nilai Humanistik 

         Garis horizontal memiliki nilai sebagai bentuk perwujudan  hubungan antara manusia dengan sesamanya dalam Al–Qur,an disebut sebagai (hablomminannas). Manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupan masyarakat di Mandar senantiasa terjalin hubungan  dengan sesamanya secara baik dan harmonis meskipun berbeda etnis dan strata sosialnya. Orang Mandar menyadari bahwa orang tidak mungkin bertahan hidup tanpa kehadiran pertolongan orang lain. Orang Mandar memiliki sikap dan sifat bijaksana, serta arif dalam bermasyarakat dan memiliki sensitivitas sosial tinggi. Baik antara masyarakat dengan pemerintah maupun masyarakat biasa dengan masyarakat yang tinggi strata sosialnya. Semuanya terjalin komunikasi yang baik sebagai mana ungkapannya sipatiau, sipakalebbi, sipakainge (saling memanusiakan,  menghargai, dan mengingatkan) dan sirondo-rondoi (saling tolong menolong). Ungkapan ini merupakan nilai humanistik yang mengatur hubungan humanitas antara sesama warga masyarakat Polewali Mandar. Aplikasinya dapat terlihat dalam kehidupan masyarakat yang masih kental dengan kegiatan kegotong royongan, kebersamaan, ketimbang kepentingan individual. Pada prinsipnya masyarakat Mandar senantiasa berbuat baik terhadap sesamanya. Dalam pesan petuah leluhur Mandar mengatakan Papiyai kedomu diparammu todi panjari kedodi tia disanga rupa tau artinya berbuat baiklah kepada sesama manusia, karena perbuatanlah yang menentukan sehingga orang disebut manusia. Nilai humanis tersebut tidak hanya diwujudkan dalam ucapan, sikap dan perbuatan sehari-hari tetapi juga teraplikasi dalam bentuk ragam hias pada sarung tenun sutera Mandar yang berbentuk garis lurus horizontal.

4. Nilai Persatuan/ Kekuatan

           Mencermati bentuk ragam hias kotak/segi empat tersebut tersirat suatu nilai kekuatan dalam kebersamaan. Kebersamaan ini dalam arti usaha kerjasama untuk meringankan sesuatu beban pekerjaan secara bergotong- royong. Kegotong-royongan tersebut melahirkan suatu nilai kekuatan sebagai persatuan yang terbingkai dalam suatu ikatan pada bentuk segi empat.  Nilai persatuan sebagai kekuatan sudah lama terbina dalam tatanan kehidupan pada masyarakat di Mandar. Hal ini tampak sejak zaman pemerintahan kerajaan Tomapayung pada abad ke XVI  terucap kata  “sipamandar” yang artinya saling menguatkan di antara tujuh kerajaan pantai dengan tujuh kerajaan di pegunungan.



BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan 

1. Lipa’ Sa’be (bahasa daerah Mandar) artinya sarung sutera. Lipa’ Sa’be Mandar telah lama dikenal karena memiliki ciri khusus yakni dari segi corak (sure’) dan cara pembuatannya.
2. Kapan masuknya kebudayaan Manette’ (menenun) ke Indonesia ini tidak ada satupun sumber yang dapat memastikannya secara pasti, akan tetapi berdasarkan hasil penemuan tentang aneka ragam alat-alat tenun yang ada dan masih dipergunakan oleh berbagai suku di Indonesia hingga saat ini, dapat diketahui bahwa kebudayaan dalam hal menenun timbul bersamaan dengan adanya peradaban manusia, pada awalnya sebelum adanya hasil tenunan yang di produksi secara tradisional maka kulit kayu dan daun kayu serta kulit binatang yang semula di pergunakan sebagai pakaian penutup badan manusia terutama dengan menutupi bagian vital, lalu kemudian sesuai dengan kemajuan peradaban, akhirnya diganti dengan pakaian yang didapatkan lewat kepandaian dengan cara menenun (manette’) yang awalnya dimulai lewat keterampilan dengan cara menganyam yang dalam bahasa Mandar Mambittang mappasitambeng

       Pengetahuan dalam hal menenun bagi setiap orang Mandar dengan bahan yang digunakan yaitu: sa’be (bening sutra) sebagai salah satu komoditi utama di Mandar yang dikenal dengan nama lipa’ Sa’be Mandar (sarung sutra dari Mandar), dimana bahan utamnya adalah benang sutra yang diperoleh dari daratan china yang dibawa pulang oleh orang Mandar sebagai saudagar setelah beralabuh didaratan China dengan menukar barang-barang dagangan yang terdiri dari rempah-rempah dan ikan asing yang di bawa dari Mandar.

3. Ada berbagai jenis corak/sure’ lipa’ sa’be Mandar, Yang menurut penuturan dari Ibu Agung H.A. Depu Arayang Balanipa ke 52 semasa hidupnya kepada penulis, bahwa Lipa’ Sa’be Mandar yang dikenal sejak dahulu hingga sekarang sebagai corak tradisonal (Sure’ Simemangang) yang hanya terdiri dari 12 jenis sure’ (corak)

4. Ada beberapa makna Simbolik yang Terkandung pada Bentuk Ragam Hias Sarung  Tenun Sutera Mandar atau Lipa’ sa’be, yaitu:

a. Makna Simbolik Unsur Ragam Hias Pola Dasar Segi Empat

b. Makna Simbolik Unsur Ragam Hias Garis Lurus Vertikal dan Horisontal

c. Makna Simbolik Unsur Warna Pada Ragam Hias Sarung Tenun Sutera Mandar

5. Adapun beberapa Nilai-nilai Filosofi  Budaya yang Terkandung dalam Bentuk Ragam Hias Sarung Tenun Sutera Mandar, yaitu:

a. Nilai Moralitas

b. Nilai Religius/Agama 

c. Nilai Humanistik 

d. Nilai Persatuan/ Kekuatan


B. Saran

     Dari pembahasan yang telah dibuat dalam Karya Ilmiah tentang Makna Simbolik dan Nilai Filosofi Budaya Bentuk Ragam Hias Lipa Sa’be ini bisa bermanfaat bagi penulis maupun pembaca. Alangkah baiknya selain mempelajari makna dan nilai bentuk ragam lipa sa’be dapat diterapkan pula dalam kehidupan sehari-hari, salah satu contohnya yaitu memperkuat nilai persatuan/ kekuatan.    



DAFTAR PUSTAKA

Biranul,Anas,dkk,1995,Indonesia Indah: Batik, Jakarta : Yayasan Harapan Kita / BP3 TMII.

Bodgan, Robert dan Steven J. Taylor. 1993. Penelitian Kualitatif Surabaya: Usaha Nasional

Hamid, Mujahidin. 1992. Efektifitas LSM Mengolah Sistem Pengetahuan Lokal (Indigenous  Knowledge system) Dalam Upaya Peningkatan Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Skripsi. UjungPandang: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian  UNHAS.

https://situsbudaya.id/museum-mandar-majene-sulawesi-barat/

PDFdownload.garuda.ristekdikti.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar